Joko
Widodo
|
|
Gubernur Jakarta ke-17
|
|
Mulai
menjabat
15 Oktober 2012 |
|
Presiden
|
|
Didahului oleh
|
|
Penguasa monarki
|
|
Presiden
|
|
Wakil
|
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Informasi
pribadi
|
|
Lahir
|
|
Kebangsaan
|
|
Partai politik
|
|
Suami/istri
|
Ny. Hj. Iriana Joko Widodo
|
Anak
|
Gibran Rakabuming Raka[1]
Kahiyang Ayu Kaesang Pangarep |
Pekerjaan
|
|
Agama
|
Ir. H. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961;
umur 51 tahun),[2] atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi,
adalah Gubernur DKI Jakarta
terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012. Ia merupakan gubernur ke-17 yang
memimpin ibu kota Indonesia.
Sebelumnya,
Jokowi menjabat Wali Kota
Surakarta (Solo) selama dua periode, 2005-2010
dan 2010-2015, namun baru 2 tahun
menjalani periode keduanya, ia mendapat amanat dari warga Jakarta untuk
memimpin Ibukota Negara. Dalam masa jabatannya di Solo, ia didampingi F.X. Hadi Rudyatmo
sebagai wakil walikota. Ia dicalonkan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan.[3]
Daftar
isi
|
Masa kecil
Joko Widodo
lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo.[4] Dengan kesulitan hidup yang dialami, ia
terpaksa berdagang, mengojek payung, dan jadi kuli panggul untuk mencari
sendiri keperluan sekolah dan uang jajan. Raat anak-anak lain ke sekolah dengan
sepeda, ia memilih untuk tetap berjalan kaki. Mewarisi keahlian bertukang kayu
dari ayahnya, ia mulai pekerjaan menggergaji di umur 12 tahun.[5][6] Penggusuran yang dialaminya sebanyak
tiga kali di masa kecil mempengaruhi cara berpikirnya dan kepemimpinannya kelak
setelah menjadi Walikota Surakarta saat harus menertibkan pemukiman warga.[7]
Masa kuliah dan berwirausaha
Dengan performa
akademis yang dimiliki, ia diterima di Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.
Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk belajar struktur kayu, pemanfaatan, dan
teknologinya.[8]
Selepas kuliah,
ia bekerja di BUMN, namun tak lama memutuskan keluar dan memulai usaha dengan
menjaminkan rumah kecil satu-satunya, dan akhirnya berkembang sehingga
membawanya bertemu Micl Romaknan, yang akhirnya memberinya panggilan yang
populer hingga kini, Jokowi. Dengan kejujuran dan kerja kerasnya, ia mendapat
kepercayaan dan bisa berkeliling Eropa yang membuka matanya. Pengaturan kota
yang baik di Eropa menjadi inspirasinya untuk diterapkan di Solo dan
menginspirasinya untuk memasuki dunia politik. Ia ingin menerapkan kepemimpinan
manusiawi dan mewujudkan kota yang bersahabat untuk penghuninya.[9]
Karier politik
Wali kota Surakarta
Dengan berbagai
pengalaman di masa muda, ia mengembangkan Solo yang buruk penataannya dan
berbagai penolakan masyarakat untuk ditertibkan. Di bawah kepemimpinannya, Solo
mengalami perubahan dan menjadi kajian di universitas luar negeri.[10]
Rebranding Solo
Branding untuk kota
Solo dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu "Solo: The Spirit of Java".
Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia
mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak
untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor
untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin
dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman
Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya,
dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju
dengan prinsip kepemimpinannya.[11] Sebagai tindak lanjut branding
ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan
Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan
Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober
2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival
Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg
yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada
tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.
Mendamaikan Keraton Surakarta
Pada tanggal 11
Juni 2004, Paku Buwono XII
wafat tanpa sempat menunjuk permaisuri maupun putera mahkota, sehingga terjadi
pertentangan antara kedua putranya, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH)
Panembahan Agung Tedjowulan. Selama tujuh tahun ada dua raja yang ditunjuk oleh
kedua pihak di dalam satu Keraton.[12]
Konflik ini
akhirnya mendorong campur tangan pemerintah Republik Indonesia dengan
menawarkan dualisme kepemimpinan, dengan Paku Buwono XIII sebagai Raja dan KGPH
Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Penandatanganan
kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai karena beberapa
keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.[13]
Puncaknya
adalah penolakan atas Raja dan Mahapatih untuk memasuki Keraton pada tanggal 25
Mei 2012. Keduanya dicegat di pintu utama Keraton di Korikamandoengan.[14] Jokowi akhirnya berperan menyatukan
kembali perpecahan ini setelah delapan bulan menemui satu per satu pihak
keraton yang terlibat dalam pertentangan.[15] Pada tanggal 4 Juni 2012 akhirnya
Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan berakhirnya konflik Keraton Surakarta yang
didukung oleh pernyataan kesediaan melepas gelar oleh Panembahan Agung Tedjowulan,
serta kesiapan kedua keluarga untuk melakukan rekonsiliasi.[16]
Penghargaan
Atas
prestasinya, oleh Majalah Tempo, Joko
Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008".[17] Kebetulan di majalah yang sama pula, Basuki Tjahaja Purnama,
atau akrab dengan panggilan Ahok pernah terpilih pula dalam "10 Tokoh
2006" atas jasanya memperbaiki layanan kesehatan dan pendidikan di
Belitung Timur. Ahok kemudian akan menjadi pendampingnya di Pilgub DKI tahun 2012.[18]
Pada tanggal 12
Agustus 2011, ia juga mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama untuk prestasinya
sebagai kepala daerah mengabdikan diri kepada rakyat.[19] Bintang Jasa Utama ini adalah
penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga negara sipil. [20]
Gubernur Jakarta
Suasana di
posko pemenangan Jokowi di Jalan Borobudur 22
Jokowi diminta
secara pribadi oleh Jusuf Kalla untuk
mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta[21] pada Pilgub DKI tahun 2012. Karena merupakan kader PDI
Perjuangan, maka Jusuf Kalla meminta dukungan dari Megawati Soekarnoputri, yang
awalnya terlihat masih ragu. Sebagai wakil, Basuki T Purnama yang saat itu
menjadi anggota DPR dicalonkan mendampingi Jokowi dengan pindah ke Gerindra
karena Golkar telah sepakat mendukung Alex Noerdin sebagai Calon Gubernur.[22]
Pasangan ini
awalnya tidak diunggulkan. Hal ini terlihat dari klaim calon petahana yang
diperkuat oleh Lingkaran Survei Indonesia bahwa pasangan Fauzi Bowo dan
Nachrowi Ramli akan memenangkan pilkada dalam satu putaran.[23] Selain itu, PKS yang meraup lebih dari
42 persen suara untuk Adang Daradjatun
di pilkada
2007 juga mengusung Hidayat Nur Wahid yang sudah dikenal rakyat
sebagai Ketua MPR RI periode 2004-2009. Dibandingkan dengan partai lainnya,
PDIP dan Gerindra hanya mendapat masing-masing hanya 11 dan 6 kursi dari total
94 kursi, jika dibandingkan dengan 32 kursi milik Partai Demokrat untuk Fauzi
Bowo, serta 18 Kursi milik PKS untuk Hidayat Nur Wahid.[24] Namun LP3ES sudah memprediksi bahwa
Jokowi dan Fauzi Bowo akan bertemu di putaran dua.[25]
Hitung cepat
yang dilakukan sejumlah lembaga survei pada hari pemilihan, 11 Juli 2012 dan
sehari setelah itu, memperlihatkan Jokowi memimpin, dengan Fauzi Bowo di posisi
kedua.[26] Pasangan ini berbalik diunggulkan
memenangi pemilukada DKI 2012 karena kedekatan Jokowi
dengan Hidayat Nur Wahid saat pilkada Walikota Solo 2010[27] serta pendukung Faisal Basri dan Alex
Noerdin dari hasil survei cenderung beralih kepadanya.[28]
Pilkada 2012 putaran kedua
Jokowi berusaha
menghubungi dan mengunjungi seluruh calon,[29] termasuk Fauzi Bowo,[30] namun hanya berhasil bersilaturahmi
dengan Hidayat Nur Wahid[31] dan memunculkan spekulasi adanya
koalisi di putaran kedua.[32] Setelahnya, Fauzi Bowo juga bertemu
dengan Hidayat Nur Wahid.
Namun keadaan
berbalik setelah partai-partai pendukung calon lainnya di putaran pertama,
malah menyatakan dukungan kepada Fauzi Bowo.[33] Hubungan Jokowi dengan PKS juga
memburuk dengan adanya tudingan bahwa tim sukses Jokowi memunculkan isu mahar
politik Rp50 miliar.[34] PKS meminta isu ini dihentikan,[35] sementara tim sukses Jokowi menolak
tudingan menyebutkan angka imbalan tersebut.[36] Kondisi kehilangan potensi dukungan
dari partai-partai besar diklaim Jokowi sebagai fenomena "Koalisi Rakyat
melawan Koalisi Partai".[37] Klaim ini dibantah pihak Partai
Demokrat karena PDI Perjuangan dan Gerindra tetap merupakan partai politik yang
mendukung Jokowi, tidak seperti Faisal Basri dan Hendrardji yang merupakan calon
independen.[38] Jokowi akhirnya mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh penting seperti Misbakhun dari PKS,[39] Jusuf Kalla dari Partai Golkar,[40] Indra J Piliang dari Partai Golkar,[41] serta Romo Heri yang merupakan adik
ipar Fauzi Bowo.[42]
Pertarungan
politik juga merambah ke dunia media sosial dengan peluncuran Jasmev,[43] pembentukan media center,[44] serta pemanfaatan media baru dalam
kampanye politik seperti Youtube.[45] Pihak Fauzi Bowo menyatakan juga ikut
turun ke media sosial, namun mengakui kelebihan tim sukses dan pendukung Jokowi
di kanal ini.[46]
Putaran kedua
juga diwarnai berbagai tudingan kampanye hitam, yang antara lain berkisar dalam
isu SARA,[47] isu kebakaran yang disengaja,[48] korupsi,[49] dan politik transaksional.[50]
Menjelang
putaran kedua, berbagai survei kembali bermunculan yang memprediksi kemenangan
Jokowi, antara lain 36,74% melawan 29,47% oleh SSSG,[51] 72,48% melawan 27,52% oleh INES,[52] 45,13% melawan 37,53% dalam survei
elektabilitas oleh IndoBarometer,[53] 45,6% melawan 44,7% oleh Lembaga
Survei Indonesia.[54]
Setelah
pemungutan suara putaran kedua, hasil penghitungan cepat Lembaga Survei
Indonesia memperlihatkan pasangan Jokowi - Ahok sebagai pemenang dengan 53,81%.
Sementara rivalnya, Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli mendapat 46,19%.[55] Hasil serupa juga diperoleh oleh Quick
Count IndoBarometer 54.24% melawan 45.76%,[56] dan lima stasiun TV.[57] Perkiraan sementara oleh metode Quick
Count diperkuat oleh Real Count PDI Perjuangan dengan hasil 54,02% melawan
45,98%,[58] Cyrus Network sebesar 54,72% melawan
45,25%.[59] Dan akhirnya pada 29 September 2012,
KPUD DKI Jakarta menetapkan pasangan Jokowi - Ahok sebagai gubernur dan wakil
gubernur DKI yang baru untuk masa bakti 2012-2017 menggantikan Fauzi Bowo - Prijanto.[60][61]
Pasca Pilkada 2012
Setelah resmi
menang di perhitungan suara, Jokowi masih diterpa isu upaya menghalangi
pengunduran dirinya oleh DPRD Surakarta., namun dibantah oleh DPRD.[62] Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menyatakan akan turun tangan
jika masalah ini terjadi,[63] karena pengangkatan Jokowi sebagai
Gubernur DKI Jakarta tidak dianggap melanggar aturan mana pun jika pada saat
mendaftar sebagai Calon Gubernur sudah menyatakan siap mengundurkan diri dari
jabatan sebelumnya jika terpilih, dan benar-benar mengundurkan diri setelah
terpilih.[64] Namun setelahnya, DPR merencanakan
perubahan terhadap Undang-Undang No 34 tahun 2004, sehingga setalah Jokowi,
kepala daerah yang mencalonkan diri di daerah lain, harus terlebih dahulu
mengundurkan diri dari jabatannya pada saat mendaftarkan diri sebagai calon.[65]
Atas alasan
administrasi terkait pengunduran diri sebagai Walikota Surakarta dan masa
jabatan Fauzi Bowo yang belum berakhir, pelantikan Jokowi tertunda[66] dari jadwal awal 7 Oktober 2012
menjadi 15 Oktober 2012.[67] Acara pelantikan diwarnai perdebatan
mengenai biaya karena adanya pernyataan Jokowi yang menginginkan biaya
pelantikan yang sederhana.[68] DPRD kemudian menurunkan biaya
pelantikan menjadi Rp 550 juta, dari awalnya dianggarkan Rp 1,05Miliar dalam
Perubahan ABPD. Acara pelantikan juga diramaikan oleh pedagang kaki lima yang menggratiskan
dagangannya.[69]
Sehari usai
pelantikan, Jokowi langsung dijadwalkan melakukan kunjungan ke masyarakat.[70]
Protes serikat buruh atas UMP
Selanjutnya,
pada 24 Oktober 2012
yang lalu, terjadi unjuk rasa di Balaikota yang dilakukan sekumpulan buruh dari
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. .[71] Awalnya buruh menuntut kenaikan UMP
menjadi Rp 2,79Juta, yang ditanggapi ajakan dialog oleh Basuki Tjahaja Purnama
dengan perwakilan buruh. Akhirnya disepakati penggunaan angka survei Kecukupan
Hidup Layak bulan terakhir, dari sebelumnya yang dirata-rata dari data Februari
2012 hingga Oktober 2012,[72] serta berbagai poin lainnya sehingga
menjadi 13 kesepakatan. [73]
Jokowi kemudian
menyerahkan penghitungan UMP yang layak kepada Dewan Pengupahan yang awalnya
memunculkan rekomendasi angka Rp1,9Juta. Namun sidang ini diganggu oleh
tindakan buruh yang memanggil kembali perwakilannya, sehingga angka ini baru
mewakili kepentingan pengusaha. [74]. Akhirnya disepakati oleh berbagai
pihak bahwa Upah Minimum Provinsi sebesar Rp 2,2Juta yang kemudian ditetapkan
oleh Dewan Pengupahan. [75]
Jokowi
melakukan berbagai konsultasi, termasuk dengan Menakertrans Muhaimin Iskandar,
Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat untuk menentukan UMP yang tepat bagi
buruh di DKI Jakarta agar tidak mengalami ketimpangan dengan daerah penyangga,
namun masih layak untuk dinikmati pekerja. [76]
Penetapan UMP
oleh Jokowi masih menunggu adanya kesepakatan Pengusaha dan Buruh, dan
ditambahi alasan "Menunggu Hari Baik". Sehingga hingga 18 November
2012, UMP yang berlaku masih sebesar Rp 1,5Juta.[77]
0 Comments